Loading...
Sunday 20 March 2011

perjuangan rakyat indonesia melawan penjajah


perjuangan rakyat indonesia melawan penjajah

Setelah tanggal 17 Agustus 1945, perjalanan sejarah perjuangan bangsa Indonesia untuk mewujudkan suatu kemerdekaan yang sempurna belum sepenuhnya berakhir. Hal ini disebabkan juga karena pada saat itu Belanda belum mau mengakui kemerdekaan Indonesia, mereka masih mengklaim bahwa Indonesia merupakan wilayah Kerajaan Belanda.

Dari sinilah berbagai macam perjuangan bersenjata dilakukan oleh para tokoh bangsa ini demi keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kondisi ini tentunya menjadikan sebuah sejarah tersendiri bagi perkembangan bangsa Indonesia.

Belanda merupakan salah satu negara yang mengisi sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Sejarah yang dibuat oleh Belanda karena menjajah negara ini tentunya dapat kita rasakan saat ini. Dahulu kala para penjajah Belanda telah membuat kemarahan hampir seluruh rakyat Indonesia yang tidak mau terjadi sejarah yang sama yaitu penjajahan kembali oleh Belanda.

Kemarahan itu diwujudkan juga dalam bentuk – bentuk perlawanan bersenjata. Di berbagai tempat di Indonesia terjadi kontak senjata antara rakyat Indonesia dan tentara Belanda yang memboncengi tentara Sekutu. Di Bandung, Ambarawa, Surabaya serta di beberapa tempat di Sumatera, Bali, Kalimantan, dan Sulawesi terjadi pertempuran dashyat yang melibatkan berbagai elemen masyarakat.

Berikut ini beberapa sejarah perjuangan bersenjata yang terjadi di negara Indonesia yang menjadikan negara ini dapat memperoleh kemerdekaan.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Bandung

Berita penyerahan Jepang kepada Sekutu dan proklamasi kemerdekaan telah beberapa minggu diketahui rakyat Bandung. Para pejuang dan laskar di daerah Bandung berinisiatif melucuti dan mengambil senjata dari gudang-gudang milik Jepang secara damai.

Pertempuran yang tidak seimbang ini memaksa para pejuang dan laskar mengundurkan diri dari pertempuran langsung. Untuk menghindari konflik langsung antara pasukan Sekutu dan para pejuang, Sekutu mengusulkan kepada pemerintah RI agar Bandung dibagi dua wilayah, yaitu jalur kereta api di sebelah utara sebagai wilayah Sekutu dan jalur kereta api di sebelah selatan sebagai wilayah RI.

Kesepakatan ini memaksa para pejuang meninggalkan Bandung Utara pada tanggal 24 November 1945 dengan berat hati. Sambil hijrah ke Selatan, para pejuang membumihanguskan Bandung Utara. Sejarah inilah yang hingga saat ini membuat Bandung sebagai kota lautan api.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Ambarawa

Pertempuran di Ambarawa terjadi antara pemuda Indonesia melawan sekutu. Latar belakang peristiwa ini dimulai ketika pasukan sekutu yang diboncengi oleh NICA berusaha membebaskan orang-orang Belanda yang ditahan Jepang. Setelah bebas, para tawanan kemudian dipersenjatai.

Kejadian ini juga terjadi di Magelang dan Ambarawa. Insiden baru berakhir ketika Presiden Soekarno mengadakan perundingan dengan Jenderal Bethell. Namun hasil perudingan ternyata dilanggar oleh pihak sekutu. Insiden pun meluas menjadi pertempuran antara TKR melawan sekutu. Akhirnya, pada tanggal 21 November 1945, pasukan Sekutu berhasil dipukul mundur dan bertahan di Semarang.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Surabaya

Pertempuran Surabaya berawal dari mendaratnya pasukan Sekutu yang diboncengi pasukan Belanda pada akhir Oktober 1945. Melalui perundingan dengan tokoh-tokoh masyarakat Surabaya dan melucuti tentara Jepang.

Namun pada malam hari tanggal 26 Oktober 1945, Sekutu menyerang penjara Kalisosok. Tentara sekutu membebaskan Kolonel Huiyer, seorang perwira Belanda beserta tentara Belanda lainnya yang ditawan RI. Bahkan keesokan harinya Sekutu menyebarkan pamflet yang berisi perintah agar rakyat Surabaya menyerahkan senjata yang dirampas dari Jepang.

Atas tindakan Sekutu rakyat Surabaya melakukan serangan umum terhadap kedudukan Sekutu di Surabaya. Pertempuran baru berakhir setelah Presiden Soekarno yang datang atas permintaan Sekutu dapat meyakinkan rakyat Surabaya bahwa Sekutu datang hanya untuk melucuti tentara Jepang. Namun, situasi tenang itu hanya berlangsung sebentar sebab ternyata pasukan sekutu terus memperkuat diri.

Karena tidak ada tanggapan maka Sekutu menggempur Surabaya. Pertempuran Surabaya yang melibatkan hampir seluruh penduduk Surabaya itu berlangsung selama tiga minggu. Akibatnya, ribuan korban meninggal, luka-luka, dan gelombang pengungsi ke luar kota. Sejarah ini pula yang menyebabkan kota Surabaya disebut sebagai kota pahlawan.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Sumatera

Perang kemerdekaan terjadi di hampir di seluruh Sumatera antara tahun 1945 sampai 1946. Salah satu perang yang mengguncangkan Sekutu adalah pertempuran Medan (Medan Area). Pertempuran ini bermula ketika para pejuang mulai merebut persenjataan Jepang yang seharusnya diserahkan kepada sekutu.

Rakyat medan menolaknya sehingga terjadi bentrokan keduanya. Sekutu kemudian membuat batasan kekuasaan secara sepihak. Dengan tekad mempertahankan kota Medan mereka membubuhkan tanda tangan pada secarik kertas sebagai tanda setuju melakukan pertahanan dan berikrar bersama. Selain di Medan pertempuran terjadi di Aceh, Padang, dan Bukittinggi.

Di Aceh, Sekutu mengerahkan pasukan – pasukan Jepang untuk menghadapi para pejuang. Terjadilah pertempuran yang dikenal Peristiwa Krueng Panjo/Bireun. Para pejuang Aceh dipimpin oleh Residen Aceh, yakni Teuku Nyak Arief.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Bali

Tidak lama setelah mendengar berita proklamasi kemerdekaan, rakyat Bali dikejutkan dengan kedatangan Sekutu. Sekutu datang dengan diboncengi pasukan Belanda. Situasi pun semakin buruk setelah Belanda ingin membentuk Indonesia Timur.

Kemudian Sekutu melakukan gempuran secara besar-besaran dengan menggunakan pesawat tempur. Pemimpin pasukan Letkol I Gusti Ngurah Rai memerintahkan para pejuang untuk mengadakan perang puputan yang artinya secara habis-habisan. Letkol I Gusti Ngurah Rai akhirnya gugur bersama dengan anak buahnya.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Kalimantan

Perjuangan bersenjata di Kalimantan dilaksanakan dengan bantuan personel dari Jawa. Sejak bulan November 1945 hingga Februari 1946 dikirim beberapa pasukan personel dari Jakarta, Tegal, Panarukan, dan Pekalongan. Pasukan tersebut dikirim ke kota – kota di Kalimantan. Pasukan tersebut bertugas membantu laskar pejuang setempat menegakan kekuasaan RI.

Namun keberadaannya diketahui oleh Sekutu sehingga banyak yang gagal. Sebagian para pejuangnya merupakan para pemuda yang belajar di Jawa. Dari semua pejuang itu hanya sedikit personel yang berhasil bergabung dengan pejuang setempat dan melakukan perlawanan terhadap sekutu.

Sejarah Perjuangan Bersenjata di Sulawesi

Dr. Sam Ratulangi ditunjuk oleh pemerintah pusat sebagai Gubernur Sulawesi dengan tugas pokok menegakan kekuasaan RI di wilayah Sulawesi. Sam Ratulangi ditangkap sekutu sebelum ia berhasil menghimpun segenap kekuatan rakyat Sulawesi. Penagkapannya memicu kemarahan laskar pejuang.

Dibawah pimpinan Ranggong Daeng Romo, Makaraeng Daeng Djarung dan Robert Wolter Monginsidi, mereka berjuang untuk mengusir pasukan sekutu. Dalam pertempuran dashyat Ranggong Daeng Romo gugur, 28 Februari 1947. Sementara itu Wolter Mongonsidi ditangkap oleh Belanda dan dihukum mati. Kematiannya tidak menyurutkan semangat perjuangan rakyat.

Mereka terus melakukan perlawanan gerilya. Dengan dipimpin oleh Mayor Andi Matalata, rakyat terus melakukan perlawanan gerilya. Gangguan yang dilancarkan secara terus menerus oleh rakyat sangat merepotkan Belanda sehingga dibawah pimpinan Kapten Raymond Westerling, melakukan pembersihan dengan cara membunuh rakyat Sulawesi Selatan yang dicurigai mendukung laskar.

janji soekarno kepada rakyat aceh

janji soekarno kepada rakyat aceh
Jauh sebelum NKRI berdiri, Nanggroe Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah.
Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno (Laknatullah) sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda. Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno (Laknatullah) dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno (Laknatullah) selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakak” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah:

Presiden Soekarno (Laknatullah): “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.”

Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.”

Presiden Soekarno (Laknatullah): “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.”

Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.”

Presiden Soekarno (Laknatullah): “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.”

Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.”

Presiden Soekarno (Laknatullah): “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.”

Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.”

Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno (Laknatullah) langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan,
Soekarno (Laknatullah) berkata, “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.”
Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.”
Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno berjanji, “Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam.
Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?”
Daud Beureueh menjawab, “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.”

Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu.

Soekarno (Laknatullah) mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara.
Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai.
Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda.

Bung Karno (Laknatullah) telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah.

Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak termaafkan. Pengkhianatan Soekarno terhadap Muslim Aceh merupakan awal dari rentetan pengkhianatan—jika tidak mau dikatakan sebagai konspirasi—yang dilakukan negara terhadap Aceh dan rakyatnya, juga terhadap tokoh-tokoh Islam setelahnya.

Sejarah telah mencatat bagaimana rezim Soekarno (Laknatullah) juga telah melakukan penindasan terhadap umat Islam, terutama di tahun 1959-1965, di saat Soekarno (Laknatullah) bersedia dijadikan presiden seumur hidup dan demokrasi terpimpin. Salah satunya adalah pembubaran Partai Masyumi dan penahanan tokoh-tokohnya. M. Natsir ditahan pada tahun 1961 dan 1966, juga Boerhanoeddin Harahap yang berada dalam tahanan dari tahun 1961 hingga 1967, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M.Yunan Nasution, E.Z. Muttaqin dan KH Isa Anshary, ditahan pula di Madiun pada tahun 1962. Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono, Mr. dan Kasman Singodimejo di tahan di Sukabumi. Demikian pula yang menimpa Soemarso Soemarsono, A. Mukti, Djanamar Adjam, KH.M. Syaaf dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh Masyumi. Selain ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan yang benar, siksaan juga ditimpakan pada mereka. Salah satu contoh, ini dipaparkan Ridwan Saidi, jika rezim Soekarno (Laknatullah) menyiksa Ustadz Ghazali Sjahlan hingga dia hanya diberi “makanan” berupa tetesan air pisang busuk selama di penjara.

http://mediamuslim.blogdetik.com/pabochech/467/soekarno-megawati-dan-islam-6/
Tambahkan keterangan gambar
Jauh sebelum NKRI berdiri, Nanggroe Aceh Darussalam telah berdaulat sebagai sebuah kerajaan merdeka dan bahkan menjadi bagian dari kekhalifahan Turki Utsmaniyah. Hal ini sungguh-sungguh disadari Soekarno (Laknatullah) sehingga dia mengajak dan membujuk Muslim Aceh untuk mau bergabung dengan rakyat Indonesia guna melawan penjajah Belanda. Saat berkunjung ke Aceh tahun 1948, Bung Karno (Laknatullah) dengan sengaja menemui tokoh Aceh, Daud Beureueh. Bung Karno (Laknatullah) selaku Presiden RI menyapa Daud Beureueh dengan sebutan “Kakak” dan terjadilah dialog yang sampai saat ini tersimpan dengan baik dalam catatan sejarah: Presiden Soekarno (Laknatullah): “Saya minta bantuan Kakak agar rakyat Aceh turut mengambil bagian dalam perjuangan bersenjata yang sekarang sedang berkobar antara Indonesia dan Belanda untuk mempertahankan kemerdekaan yang telah kita proklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945.” Daud Beureueh : “Saudara Presiden! Kami rakyat Aceh dengan segala senang hati dapat memenuhi permintaan Presiden asal saja perang yang akan kami kobarkan itu berupa perang sabil atau perang fisabilillah, perang untuk menegakkan agama Allah sehingga kalau ada di antara kami yang terbunuh dalam perang itu maka berarti mati syahid.” Presiden Soekarno (Laknatullah): “Kakak! Memang yang saya maksudkan adalah perang yang seperti telah dikobarkan oleh pahlawan-pahlawan Aceh yang terkenal seperti Teungku Cik Di Tiro dan lain-lain, yaitu perang yang tidak kenal mundur, perang yang bersemboyan merdeka atau syahid.” Daud Beureueh : “Kalau begitu kedua pendapat kita telah bertemu Saudara Presiden. Dengan demikian bolehlah saya mohon kepada Saudara Presiden, bahwa apabila perang telah usai nanti, kepada rakyat Aceh diberikan kebebasan untuk menjalankan Syariat Islam di dalam daerahnya.” Presiden Soekarno (Laknatullah): “Mengenai hal itu Kakak tak usah khawatir. Sebab 90% rakyat Indonesia beragama Islam.” Daud Beureueh : “Maafkan saya Saudara Presiden, kalau saya terpaksa mengatakan bahwa hal itu tidak menjadi jaminan bagi kami. Kami menginginkan suatu kata ketentuan dari Saudara Presiden.” Presiden Soekarno (Laknatullah): “Kalau demikian baiklah, saya setujui permintaan Kakak itu.” Daud Beureueh : “Alhamdulillah. Atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan terima kasih banyak atas kebaikan hati Saudara Presiden. Kami mohon (sambil menyodorkan secarik kertas kepada presiden) sudi kiranya Saudara Presiden menulis sedikit di atas kertas ini.” Mendengar ucapan Daud Beureueh itu Bung Karno (Laknatullah) langsung menangis terisak-isak. Airmata yang mengalir telah membasahi bajunya. Dalam keadaan sesenggukan, Soekarno (Laknatullah) berkata, “Kakak! Kalau begitu tidak ada gunanya aku menjadi presiden. Apa gunanya menjadi presiden kalau tidak dipercaya.” Dengan tetap tenang, Daud Beureueh menjawab, “Bukan kami tidak percaya, Saudara Presiden. Akan tetapi sekadar menjadi tanda yang akan kami perlihatkan kepada rakyat Aceh yang akan kami ajak untuk berperang.” Sambil menyeka airmatanya, Bung Karno berjanji, “Wallah, Billah, kepada daerah Aceh nanti akan diberi hak untuk menyusun rumah tangganya sendiri sesuai dengan Syariat Islam. Dan Wallah, saya akan pergunakan pengaruh saya agar rakyat Aceh benar-benar dapat melaksanakan Syariat Islam di dalam daerahnya. Nah, apakah Kakak masih ragu-ragu juga?” Daud Beureueh menjawab, “Saya tidak ragu Saudara Presiden. Sekali lagi, atas nama rakyat Aceh saya mengucapkan banyak terima kasih atas kebaikan hati Saudara Presiden.” Dalam suatu wawancara yang dilakukan M. Nur El Ibrahimy dengan Daud Beureueh, Daud Beureueh menyatakan bahwa melihat Bung Karno menangis terisak-isak, dirinya tidak sampai hati lagi untuk bersikeras meminta jaminan hitam di atas putih atas janji-janji presiden itu. Soekarno (Laknatullah) mengucapkan janji tersebut pada tahun 1948. Setahun kemudian Aceh bersedia dijadikan satu provinsi sebagai bagian dari NKRI. Namun pada tahun 1951, belum kering bibir mengucap, Provinsi Aceh dibubarkan pemerintah pusat dan disatukan dengan Provinsi Sumatera Utara. Jelas, ini menimbulkan sakit hati rakyat Aceh. Aceh yang porak-poranda setelah berperang cukup lama melawan Belanda dan kemudian Jepang, lalu menguras dan menghibahkan seluruh kekayaannya demi mempertahankan keberadaan Republik Indonesia tanpa pamrih, oleh pemerintah pusat bukannya dibangun dan ditata kembali malah dibiarkan terbengkalai. Bukan itu saja, hak untuk mengurus diri sendiri pun akhirnya dicabut. Rumah-rumah rakyat, dayah-dayah, meunasah-meunasah, dan sebagainya yang hancur karena peperangan melawan penjajah dibiarkan porak-poranda. Bung Karno (Laknatullah) telah menjilat ludahnya sendiri dan mengkhianati janji yang telah diucapkannya atas nama Allah. Kenyataan ini oleh rakyat Aceh dianggap sebagai kesalahan yang tidak termaafkan. Pengkhianatan Soekarno terhadap Muslim Aceh merupakan awal dari rentetan pengkhianatan—jika tidak mau dikatakan sebagai konspirasi—yang dilakukan negara terhadap Aceh dan rakyatnya, juga terhadap tokoh-tokoh Islam setelahnya. Sejarah telah mencatat bagaimana rezim Soekarno (Laknatullah) juga telah melakukan penindasan terhadap umat Islam, terutama di tahun 1959-1965, di saat Soekarno (Laknatullah) bersedia dijadikan presiden seumur hidup dan demokrasi terpimpin. Salah satunya adalah pembubaran Partai Masyumi dan penahanan tokoh-tokohnya. M. Natsir ditahan pada tahun 1961 dan 1966, juga Boerhanoeddin Harahap yang berada dalam tahanan dari tahun 1961 hingga 1967, Prawoto Mangkusasmito, Mohammad Roem, M.Yunan Nasution, E.Z. Muttaqin dan KH Isa Anshary, ditahan pula di Madiun pada tahun 1962. Ghazali Sjahlan, Jusuf Wibisono, Mr. dan Kasman Singodimejo di tahan di Sukabumi. Demikian pula yang menimpa Soemarso Soemarsono, A. Mukti, Djanamar Adjam, KH.M. Syaaf dan lainnya. Mereka adalah tokoh-tokoh Masyumi. Selain ditangkap dan ditahan tanpa proses pengadilan yang benar, siksaan juga ditimpakan pada mereka. Salah satu contoh, ini dipaparkan Ridwan Saidi, jika rezim Soekarno (Laknatullah) menyiksa Ustadz Ghazali Sjahlan hingga dia hanya diberi “makanan” berupa tetesan air pisang busuk selama di penjara.

0 komentar:

Post a Comment

 
TOP