Loading...
Sunday, 20 March 2011

Sejarah Bireun


BAB IV
KABUPATEN BIREUEN
PADA MASA
REVOLUSI KEMERDEKAAN REPUBLIK INDONESIA

A. Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
Berita tentang proklamasi Kemerdekaan Indonesia baru diketahui oleh masyarakat Aceh pada tanggal 21 Agustus 1945. Informasi itu diperoleh melalui Ghazali Yunus dan kawan-kawannya yang bekerja di kantor berita Jepang Domei, Kantor Penerangan Jepang (Hodoko), dan kantor Atjeh Sinbun. Mereka mengetahui kejadian itu melalui siaran radio yang ada di kantornya, kemudian secara hati-hati mereka sampaikan berita itu kepada teman-teman mereka.
Pada tanggal 24 Agustus 1945 Teuku Nyak Arief menerima telegram dari dr. Adnan Kapau Gani (Wakil Residen/Fuku Chokan) dari Palembang yang isinya menyatakan bahwa Bung Karno dan Bung Hatta telah mengumumkan proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Pada 26 Agustus 1945 diperoleh pula berita kemerdekaan Indonesia dari Adinegoro dan Muhammad Syafei dari Bukit Tinggi.
Berita proklamasi Kemerdekaan Indonesia disambut gembira oleh masyarakat Aceh. Mereka mengibarkan bendera merah putih, baik di depan kantor-kantor yang masih dikuasai Jepang, di depan toko-toko, maupun di rumah-rumah penduduk. Aksi spontanitas yang dilakukan oleh masyarakat Aceh tersebut mengakibatkan terjadinya beberapa insiden, karena pihak Jepang melarang pengibaran bendera merah putih. Pelarangan itu dilakukan oleh Jepang, karena sesuai dengan ketentuan intenasional, tentara Jepang yang kalah perang harus tunduk pada ketentuan-ketentuan Sekutu. Sekutu menginstruksikan bahwa tentara Jepang harus menjaga dan memelihara status quo. Artinya, Jepang tidak boleh mengadakan perubahan terhadap sistem pemerintahan di Indonesia sejak 15 Agustus 1945. Dengan kata lain, Jepang harus mencegah setiap aksi pihak Indonesia yang berupaya mengambil alih kekuasaan, baik kekuasaan militer maupun sipil dari pembesar-pembesar Jepang.
Sebaliknya, Indonesia mempunyai pandangan yang berbeda dengan pendirian Jepang. Diproklamirkannya Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 mengandung arti bahwa bangsa Indonesia sudah berdaulat di tanah air dan negaranya sendiri, sedangkan Jepang masih tunduk pada perintah Sekutu. Dua pandangan yang berbeda itu menimbulkan berbagai insiden antara rakyat Indonesia termasuk rakyat Aceh dengan tentara Jepang.
Pengibaran bendera merah putih secara resmi di Aceh di lakukan pada 24 Agustus 1945 di halaman kantor Teuku Nyak Arief (sekarang Kantor Wilayah Departemen Agama Aceh), dan di halaman Kantor Shu-Chokan (Gedung Juang). Kedua peristiwa bersejarah itu dipimpin langsung oleh Teuku Nyak Arief. Pengibaran bendera dilakukan oleh Hasyim Naim (mantan Kepala Polisi Aceh pertama) dan Muhammad Amin Bugeh. Selanjutnya, pada 25 Agustus 1945 bendera merah putih dikibarkan pula oleh Ali Hasjmy beserta rekan-rekannya di depan kantor Atjeh Sinbun. Setelah itu, kegiatan pengibaran bendera merah putih semakin semarak dilakukan di tempat-tempat umum di Kutaraja dan sekitarnya. Selama bulan September sampai awal Oktober 1945, pengibaran bendera merah putih telah berlangsung di kota-kota lain di seluruh Aceh seperti di Sigli, Bireun, Lhok Seumawe, Lhok Sukon, Idi, Langsa, Kuala Simpang, Kutacane, Takengon, Meulaboh, Tapaktuan.
Menurut Husin Yusuf berita proklamasi kemerdekaan pertama kali diketahui di Bireun pada 19 Agustus 1945 melalui siaran radio berbahasa Jepang. Ketika itu Husin Yusuf bekerja pada staf inteligen resmi Fojoka dengan pangkat Letnan Gyugun (Husin Yusuf kemudian terkenal sebagai Panglima TNI Divisi X sekitar tahun 1947-1949 dengan pangkat Kolonel TNI/AD). Berita tersebut kemudian disiarkan secara diam-diam kepada perwira Gyugun lainnya, seperti Agus Husein dan pemuka-pemuka masyarakat di Bireun. Kesulitan alat komunikasi, transportasi, dan militer Jepang masih berkuasa, berita proklamasi terlambat diketahui di tempat lain.
Di daerah Aceh Utara, pengibaran bendera merah putih juga dilakukan, di Lhok Sukon pada 29 Agustus 1945, Letnan Gyugun Hasbi Wahidi menerima berita proklamasi melalui utusan Gubernur Sumatera ke Aceh. Pada siang harinya, para pemimpin, tokoh, dan masyarakat mengadakan pertemuan yang dipimpin oleh Letnan Gyugun Hasbi Wahidi. Pada sore harinya upacara pengibaran bendera merah putih dilaksanakan di lapangan bola kaki Lhok Sukon. Di Lhok Seumawe upacara pengibaran bendera merah putih dilaksanakan pada bulan September 1945 bertempat di lapangan bola kaki Lhok Seumawe. Upara pengibaran bendera itu dipimpin oleh Teuku Ibrahim Panglima Agung Cunda, turut pada acara itu adalah Hasan Sab dan Guncho Lhok Seumawe Teuku Abdul Latif.
Pada tanggal 3 Oktober 1945, residen Aceh menerima instruksi dari gubernur Sumatera tentang pengibaran bendera merah putih, maka mulai pukul 06.00 pagi, bendera merah putih berkibar di rumah-rumah penduduk di seluruh Aceh. Demikian juga di kantor-kantor pemerintah dan sekolah-sekolah mengibarkan bendera kebangsaan itu walaupun dilarang oleh Jepang. Menindaklanjuti instruksi tersebut, pada 13 Oktober 1945 Ketua Pusat Komite Nasional Daerah Aceh, Tuanku Mahmud mengeluarkan Maklumat No. 2 berisi pengumuman kepada penduduk supaya mengibarkan bendera merah putih di setiap rumah dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Dikibarkan mulai tanggal 13 Oktober sampai tanggal 17 Oktober 1945,
b. Bendera dikibarkan mulai pukul 7 pagi hingga pukul 18.00, dan
c. Jika hari hujan, bendera tidak usah dikibarkan.

B. Pembentukan Pemerintahan Daerah
Sebelum berita proklamasi kemerdekaan sampai ke Aceh, rakyat di daerah ini hanya mengetahui bahwa dari pulau Sumatera terdapat wakil yang ditunjuk untuk mewakili Sumatera sebagai anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yaitu Mr. Teuku Muhammad Hasan, Dr. Amir, dan Mr. Abbas. Pada 7 Agustus 1945 mereka berangkat ke Jakarta melalui Singapura untuk menunggu kembalinya Bung Karno dari Saigon. Dari Singapura 14 Agustus 1945 mereka bersama Bung Karno berangkat ke Jakarta.
Mr. Teuku Muhammad Hasan bersama kedua rekannya kembali ke Sumatera melalui Palembang pada 24 Agustus 1945. Di Palembang, Mr. Muhammad Hasan yang telah diangkat menjadi Wakil Pemimpin Besar untuk Sumatera sejak 22 Agustus 1945 meminta kepada DR. A. K. Gani untuk membentuk Komite Nasional Indonesia Daerah Sumatera Selatan dan menyiarkan berita proklamasi kemerdekaan ke daerah-daerah. Dari Palembang, ketiga tokoh itu meneruskan perjalanan menuju Medan dan singgah di beberapa tempat, seperti Jambi, Bukittinggi, Tarutung, dan sampai di Medan pada 29 Agustus 1945. Di kota-kota yang disinggahi tersebut, Teuku Muhammad Hasan menganjurkan hal yang sama seperti di Sumatera Selatan.
Setelah menerima kawat dari dr. Adnan Kapau Gani dan Muhammad Syafei, Teuku Nyak Arief pada 28 Agustus 1945 mengambil inisiatif membentuk Komite Nasional Indonesia (KNI) Daerah Aceh. Ketua lembaga itu ditetapkan Teuku Nyak Arief, yang semula memangku jabatan Ketua Syu Sangi Kai (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Aceh) bentukan Jepang, sedangkan wakil ketua dipilih Tuanku Mahmud.
Pada 6 Oktober 1945, Komite Nasional Indonesia Daerah Aceh menerima kawat dari Ketua Barisan Pemuda Indonesia Bireun yang menyatakan bahwa telah berdiri dan melakukan rapat umum Barisan Pemuda Indonesia Bireun. Organisasi itu terdiri atas gabungan delapan perkumpulan pemuda di Bireun yang diketuai oleh Agus dan menyatakan siap sedia berkorban dibawah pimpinan Presiden Sukarno.
Selain itu, atas anjuran Komite Nasional di wilayah Aceh Utara, semua saudagar di Lhok Sukon sepakat membentuk sebuah perkumpulan bernama Perserikatan Saudagar Indonesia (Persi) pada 2 Desember 1945. Tujuannya adalah menyokong negara Republik Indonesia serta membina persatuan dan mengukuhkan hubungan silaturrahmi di kalangan mereka. Seluruh anggota Persi juga mengangkat sumpah membela negara Republik Indonesia.
Komite Nasional Daerah Aceh pada 20 Desember 1945 mengadakan musyawarah di Banda Aceh. Membubarkan susunan pengurusnya yang lama dan menyerahkan kepada suatu komisi yang bekerja sama dengan residen untuk membentuk pengurus baru. Pada 25 Desember 1945 Komite Nasional Daerah Aceh menyusun kepengurusan baru yang terdiri atas 72 anggota dari seluruh Aceh. Mr. S. M. Amin diangkat menjadi Ketua, Hasyim sebagai Ketua Muda, Muchtar sebagai Setia Usaha I, Kamaroesid sebagai Setia Usaha II, dengan pembantu-pembantunya R. Insoen, Hanafiah, dan H. M. Zainuddin. Selain itu, Komite Nasional Daerah Aceh dalam rapatnya memilih sepuluh orang wakil daerah yang duduk dalam Komite Nasional Pusat Sumatera. Mereka terdiri atas Sutikno Padmo Sumarto, Amelz, Teungku Ismail Jakub, Teungku Abdul Wahab (wakil Luhak Aceh Besar), Affan Daulay (wakil Luhak Pidie), M.I. Daud (wakil Luhak Aceh Utara), Karim M. Duryat (wakil Luhak Aceh Timur), H. Mustafa Salim (Wakil Luhak Aceh Tengah). A. Mu'thi, dan M. Abduh Syam (wakil Luhak Aceh Barat).
Gubernur Sumatera pada 28 Desember 1945 mengeluarkan maklumat No.70 yang membagi Keresidenan Aceh menjadi tujuh luhak. Dalam maklumat tersebut ditetapkan sebagai berikut;
1. Luhak Aceh Besar terdiri atas wilayah Banda Aceh, Seulimeum, dan Sabang,
2. Luhak Pidie terdiri atas wilayah Sigli, Lammeulo, dan Meureudu,
3. Luhak Aceh Utara terdiri ataswilayah Bireuen, Lhok Seumawe, dan Lhoksukon,
4. Luhak Aceh Timur terdiri atas wilayah Idi, Langsa, dan Kuala Simpang,
5. Luhak Aceh Tengah, terdiri atas wilayah Takengon, Blangkejeren, dan Kutacane,
6. Luhak Aceh Barat terdiri atas wilayah Calang, Meulaboh, dan Simeulue, dan
7. Luhak Aceh Selatan terdiri atas wilayah Tapak Tuan, Bakongan, dan Singkil.
Pada tanggal yang sama Gubernur Sumatera dengan Surat Ketetapan No. 71 mengangkat kepala-kepala wilayah seluruh Aceh, yaitu T. M. Ali Teunom (kepala wilayah Banda Aceh), T.M. Taib (Seulimeum), Sigli (T. Sabi), T. M. Daud (Lammeulo), T. Mahmud (Meureudu), Raja M. Zainuddin (Takengon), T. Raja Husin (Blangkejeren), Raja Maribun (Kutacane), T. M. Basyah (Lhok Seumawe), T. Idris (Bireuen), T. Cut Raja Pait (Lhok Sukon), T.Ali Basya Langsa (Langsa), T. Ali Basyah Lhok Sukon (Idi), T. Raja Sulung (Kuala Simpang), T. M. Aji (Meulaboh), T. Raja Mahmud (Sinabang), T. Adiyan (Calang), T. M. Taib Wood (Tapak Tuan), T. Johan (Bakongan), dan T. Itam (Singkil). Mereka diberi gaji Rp300 per bulan, kecuali kepala wilayah kelas I Meureudu dan Lhok Seumawe digaji Rp400 per bulan. Pembantu Kepala Wilayah yang diperbantukan pada Kepala Wilayah Meulaboh, T. Hasan Bakongan, diberikan gaji Rp150 rupiah per bulan.
Pada 17 Januari 1946, bertepatan dengan peringatan enam bulan berdiri Negara Republik Indonesia, di Bireun dilakukan rapat umum dan pawai akbar. Rapat umum yang dihadiri puluhan ribu orang itu mengeluarkan mosi sebagai berikut:
1. Berdiri teguh di belakang presiden dan siap mempertahankan kedaulatan Negara Republik Indonesia,
2. Menolak sesuatu pemerintahan yang berbau dominion status, selfgovernment, dan nama lain yang boleh diterima adalah merdeka 100 %,
3. Mempercayai sepenuhnya Kabinet Syahrir, tetapi tidak mengizinkan berembuk lebih jauh dengan pemerintah Belanda sebelum kemerdekaan Indonesia 100 % diakui pemerintahnya dengan tidak ada tawar-menawar,
4. Rakyat wilayah ini yang berjumlah 145.000 jiwa siap sedia dari segala gerakan dan bersatu padu untuk menyokong pemerintah pada tiap kemungkinan dengan jiwa dan raganya,
5. Jangan dibolehkan lagi tentara Inggris maupun Belanda masuk ke Indonesia sebelum diakui kemerdekaan Negara Republik Indonesia,
6. Disanggah sekeras-kerasnya tindakan-tindakan tentara Inggris yang menggencet gerakan rakyat Negara Republik Indonesia, dan
7. Didengung-dengungkan ke luar negeri segala tindakan-tindakan onar yang dilakukan Inggris di Indonesia.
Dalam rangka melengkapi pelaksana-pelaksana dalam pemerintahan selanjutnya, pada 21 Februari 1946 Pemerintah Keresidenan Aceh mengumumkan pegawai-pegawai tinggi sebagai berikut:
1. Asisten Residen d/p Residen Aceh T. M. Amin,
2. Pegawai Tinggi d/p Residen Aceh Teungku Muhammad Daud Beureu-eh dengan pangkat Asisten Residen,
3. Pegawai Tinggi d/p Residen Aceh Nya' Mansoer dengan pangkat Konteler,
4. Pegawai Tinggi d/p Residen Aceh Said Abu Bakar dengan pangkat Konteler,
5. Aspiran Konteler d/p Kepala Wilayah Lhok Seumawe, T. Ali Basyah,
6. Aspiran Konteler d/p Kepala Wilayah Bireuen, Marzuki, dan
7. Aspiran Konteler d/p Kepala Wilayah Lhok Sukon, H. Harun.
Dalam rapat pleno KNI yang berlangsung pada 5 Juni 1946 di Banda Aceh, Komite Nasional Daerah Aceh dibubarkan dan selanjutnya dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Aceh. Rapat yang dipimpin oleh T. Mohd. Daudsyah tersebut juga mendengar uraian dan penjelasan anggota Dewan Perwakilan Sumatera wakil Aceh, yaitu Amelz dan Sutikno Padmosumarto yang baru kembali dari menghadiri Rapat Pleno Dewan Perwakilan Rakyat Sumatera di Bukittinggi. Dengan uraian tersebut dan petunjuk-petunjuk dari anggota rombongan Pemerintah Pusat yang meninjau Aceh, maka semakin jelas pengertian mengenai kedudukan dan tugas-tugas Komite Nasional atau Dewan Perwakilan Rakyat di daerah. Lembaga baru ini (DPR Aceh) terdiri atas lima belas anggota, yaitu dua puluh orang Ketua Cabang Komite Nasional, tujuh orang Bupati, tujuh belas orang wakil partai/perkumpulan, dan 31 orang terkemuka dan cendikiawan. Anggota-anggota tersebut yang mewakili Aceh Utara di antaranya: Muhammad Saridin (Lhok Seumawe), M. Kasim Arsyad (Lhok Sukon), Tgk. Sulaiman Daud (Bupati Aceh Utara), dan A. Gani (Bireuen).
Untuk kesempurnaan jalannya pemerintahan di keresidenan Aceh, gubernur Sumatera melakukan mutasi besar-besaran di kalangan pamongpraja dan kepala-kepala jawatan dengan Ketetapan No.204 tertanggal 11 Agustus 1946 diberhentikan dari pekerjaannya sehingga yang bersangkutan tidak memangku lagi jabatannya sebanyak 33 orang di seluruh Aceh. Dari Aceh Utara, yaitu T. M. Basyah (kepala Wilayah I Lhok Seumawe), T. Idris (Kepala Wilayah Bireuen), dan H. Harun (Kepala Wilayah Lhok Sukon). Mereka digantikan oleh Teungku Abdul Wahab Beureugang menjadi Wedana Lhok Seumawe, Tgk. M. Nur menjadi Wedana Bireuen, dan Teungku Muhammad Usman Aziz sebagai Wedana Lhok Sukon.



C. Merebut Senjata Tentara Jepang
Jepang masih menguasai semua persenjataan meskipun sudah kalah berperang melawan Sekutu. Hal itu disebabkan tentara pendudukan Jepang mendapatkan tugas dari Sekutu untuk memelihara status quo. Pemerintah Jepang tidak boleh menyerahkan kekuasaannnya dan persenjataan kepada Indonesia. Semua persenjataan itu nantinya harus diserahkan kepada tentara Sekutu.
Di lain pihak, senjata-senjata Jepang itu sangat diperlukan oleh laskar-laskar atau badan-badan perjuangan rakyat Aceh untuk menghadapi tentara NICA yang sudah mulai melakukan aksinya di berbagai daerah di di Indonesia.
Pada mulanya pemimpin lasykar rakyat Aceh ingin menempuh secara damai dengan Jepang agar senjatanya diserahkan kepada pejuang-pejuang Aceh. Upaya itu dilakukan untuk menghindari terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan. Janji Jepang untuk menyerahkan persenjataannya kepada pejuang Aceh tidak pernah dipenuhi, maka pemimpina perjuangan rakyat Aceh terpaksa harus menempuh dengan cara kekerasan untuk memperoleh persenjataan dari Jepang. Cara yang demikian menimbulkan bebagai insiden bersenjata yang berakibat jatuhnya korban pada kedua belah pihak, akhirnya Jepang terpaksa menyerahkan senjata-senjatanya kepada pejuang Aceh.
Dengan cara yang demikian Tentara Keamanan Rakyat bersama barisan rakyat berhasil memperoleh senjata dari Jepang. Di Sigli (Pidie) pada akhir November 1945, sebanyak 200 pucuk senjata, di Aceh Utara, yaitu di Bireun dan Lhok Seumawe pada 18 November 1945, masing-masing mendapatkan senjata sebanyak 320 dan 300 pucuk, di Juli pada 20 November 1945 memperoleh enam tank, tiga meriam pantai, tiga senapan mesin, dua truk, 72 karabin, dan tujuh gudang amunisi. Di Gelanggang Labu pada 22 November memperoleh sebanyak 620 pucuk senjata, di Krueng Panjo pada 24 November 1945 terjadi pertempuran sengit selama tiga hari dan berakhir dengan penyerahan 300 pucuk senjata oleh Jepang kepada pejuang Aceh. Di Aceh Timur, terutama di Idi dan Langsa pada 9 dan 13 Desember 1945 memperoleh senjata masing-masing sebanyak 220 dan 300 pucuk. Demikian juga di daerah-daerah lain, seperti Aceh Barat, Aceh Selatan, Aceh Tengah, dan Aceh Tenggara.
Resimen tentara Jepang yang bermarkas di Bireun, menempatkan batalyon-batalyonnya di Samalanga, Lhok Seumawe, dan Lhok Sukon. Selain itu, Jepang menempatkan sebuah resimen tentara yang disebut Suzuki Rensei-Tai dan dua detasemen khusus menjaga lapangan terbang militer darurat di Gelanggang Labu, dekat Matang Geulumpang Dua sekitar 12 km dari kota Bireuen. Sejumlah senjata berat dipusatkan di kota Bireuen. Pasukan itu juga bertugas menjaga dan mengamankan gudang-gudang senjata serta logistik di Desa Juli sekitar 5 km dari Kota Bireuen. Di desa itu Jepang menyimpan alat perlengkapan perang dan gudang amunisi bagi satu resimen tentara Jepang. Dari tempat itu disuplai logistik militer ke Krueng Ulim Samalanga hingga Geudong di Lhok Seumawe.
Usaha mendapatkan senjata Jepang di Bireuen dimulai sejak Oktober 1945, namun belum berhasil. Perundingan antara pihak API yang dibantu oleh mantan Guncho (wedana) Bireuen, T. Idris Panteraja dengan Jepang sudah dilakukan beberapa kali. Akan tetapi, selalu gagal karena pihak Jepang tidak mau menyerahkan senjatanya secara sukarela. Karena tidak menemukan kesepakatan, pemimpin API Bireun meminta T. Hamid Azwar (Kepala Staf API) untuk datang ke Bireun. Wakil Markas Daerah III API (Resimen III) Bireuen adalah T. M. Daud Samalanga dan wakilnya T. Hamzah. Pada pertemuan antara API dengan mantan guncho Bireun diputuskan merubah taktik menghadapi Jepang, yaitu dengan cara intimidasi dan mengerahkan rakyat sebanyak mungkin. WMD III beserta para perwiranya, seperti T. Hamzah, Agus Husin, Nyak Do, Yusuf Ahmad, T. A, Hamdani, Muhammad Amin, Abdul Hamid TOB, A. Rachman Achmady (Bahady), dan para pemuka rakyat, seperti Naam Rasmadin, H. Affan, Marzuki Abu Bakar, Syamsuddin bin Gempa melakukan tekanan terhadap garnisun Jepang di Bireun.
Pada hari pengerahan massa, sejak subuh sudah beribu-ribu rakyat Bireun mengepung tangsi Jepang. Pemimpin WMD III API bersama mantan guncho Bireun akhirnya dapat meyakinkan Jepang bahwa satu-satunya cara terbaik bagi Jepang adalah menyerahkan seluruh senjatanya kepada rakyat Bireuen. Akhirya pada 18 November 1945 Jepang terpaksa menyerahkan seluruh senjata berikut dengan perlengkapannya kepada rakyat Bireun. Penyerahan dilakukan dengan cara serah terima dan penandatanganan naskah oleh masing-masing pihak dan sekaligus dilaksanakan penggantian pengawalan. Penyerahan satu resimen tentara Jepang Suzuki Rensei-Tai kepada Wakil Markas Daerah API/TKR, Mayor Teuku M. Daud Samalanga di Bireuen dilakukan dengan upacara militer. Mayor Teuku Hamid Azwar sebagai Kepala Staf TKR Divisi V Komandemen Sumatera khusus datang dari Kutaraja ke Bireun untuk menyaksikan penyerahan senjata Jepang tersebut.
Penyerahan senjata itu yang mewakili dari pihak Jepang bukan komandannya (Hutaicho) tetapi wakilnya yang berpangkat shosa (mayor), sedangkan yang menerima dari pihak masyarakat Bireun adalah T. M. Daud Samalanga beserta staf WMD III API dan disaksikan juga oleh T. Idris Panteraja (mantan guncho Bireuen) dan Keucik Juli. Penyerahan senjata Jepang kepada API/TKR tanpa terjadi korban pada kedua belah pihak. Pemimpin API (Angkatan Perang Indonesia) wilayah Bireun yang diwakili oleh T. Hamzah menerima 320 pucuk senjata dari Daitaityo Ibi Hara Bireuen dan dihadiri oleh tokoh-tokoh masyarakat antara lain H. Affan, H. Abu Bakar, dan Naam Rosmadin.
Pada 20 November 1945 di Juli dan Geulanggang Labu terjadi pertempuran antara penduduk dengan tentara Jepang. Pertempuran berlangsung selama tiga hari dan berhenti setelah dilakukan pendekatan antara kedua pihak. Juli, pada masa pendudukan Jepang dijadikan basis tempat penyimpanan persenjataan perang untuk pertahanan kawasan sepanjang Krueng Ulim, Samalanga hingga Geudong. Ketika peristiwa itu terjadi, tentara Jepang yang selama ini sangat bangga dengan kemampuannya berperang, merasa terpukul atas penyerbuan tersebut. Mereka lalu menyerahkan enam kenderaan tank, tiga pucuk meriam pantai, tiga pucuk senapan mesin Juki, dua buah truk, 72 pucuk karaben, dan tujuh gudang amunisi.
Perlucutan senjata Jepang di Desa Juli sempat diwarnai bentrokan senjata. Jepang menolak menyerahkan senjata ke API dalam perundingan antara pemimpin pejuang Aceh dengan Nakakubu, pemimpin tentara Jepang. Pada saat perundingan, rakyat sudah mengepung markas persenjataan Jepang. Gerakan perluculan senjata Jepang di Juli dipimpin oleh Keucik Ibrahim dengan Komandan Pasukan Letnan Thaib Bulan dan Jusuf Ahmad, dimulai pada 20 November 1945. Penolakan Jepang untuk menyerahkan senjata membuat rakyat marah. Pasukan API/TKR yang didukung oleh Barisan Rakyat di bawah pemimpin Utoh Husin dan A. R. Mahmudi melakukan penyerbuan ke asrama Angkatan Udara Jepang di Gelanggang Labu sekitar 18 km dari Bireun pada 22 November 1945. Setelah pertempuran berlangsung sekitar tiga jam, Komandan Pangkalan Udara Jepang di Geulanggang Labu mengajak untuk berunding lagi. Hasil perundingan tersebut, Jepang meyerahkan enam puluh pucuk senjata. Penyerahan senjata sebanyak itu belum memuaskan pihak pejuang Aceh sehingga suasana pun belum kondusif. Para pejuang Aceh belum mau meninggalkan pangkalan udara Jepang, sehingga pihak Jepang sangat cemas. Keesokan harinya pasukan angkatan udara Jepang meninggalkan pangkalan dan mengungsi ke Lhok Seumawe.
Perlucutan senjata di Bireuen menyebabkan Garnisun Jepang di Lhok Seumawe segera bereaksi. Pada 24 November 1945 tiga kompi pasukan didatangkan dengan menggunakan 9 dressi dan tiga gerobak kereta api bergerak menuju Bireun dengan maksud menguasai kembali Bireun dan mengambil kembali senjata yang telah diambil oleh API. Dua hari sebelum pengerahan pasukan sudah terlihat kesibukan Jepang mempersiapkan pasukan sambil meminta disediakan kereta api untuk mengangkut pasukan ke Bireuen. Suasana itu dilaporkan ke Markas Daerah API di Kutaraja. Syamaun Gaharu ditugasi mengkoordinir daerah Aceh Utara. API Bireun dikerahkan untuk menghadang Jepang di tempat yang strategis sambil menunggu bantuan dari Kutaraja dan dari daerah lain. API Bireuen memilih Matang Geulumpang Dua sebagai pos komando dan Krueng Panjo sebagai tempat penghadangan.
Dipilihnya Krueng panjo sebagai tempat menghadang tentara Jepang karena dari segi lokasi sangat menguntungkan untuk mengadakan pengepungan. Daerah Krueng Panjo dilintasi oleh jalur kereta api, diperkirakan tentara Jepang akan mempergunakan transportasi kereta api menuju Bireuen. Krueng Panjo berada di daerah persawahan dan terdapat semacam tanggul besar yang digunakan untuk areal persawahan.
Tentara Jepang yang bergerak menuju Bireuen terdiri atas Batalyon satu Resimen III Infantri di bawah komando Mayor Suzuki. Batalyon itu sejak awal ditempatkan di Lhok Seumawe, tetapi satu kompi di antaranya dipulangkan ke Medan dan digantikan dengan kompi lain dari Lhok Sukon. Kesatuan kedua adalah batalyon yang dipimpin oleh Mayor Suzuki berasal dari bekas batalyon pengawal lapangan terbang Blang Pulo dengan komandan Mayor Metsugi. Gabungan kedua batalyon itu disebut Suzuki Butai karena dipimpin oleh Mayor Suzuki. Starategi yang telah disusun oleh Teuku Hamid Azwar dikomunikasikan kepada Komandan Operasi Teuku Hamzah, menginstruksikan agar rel kereta api di Pante Gajah dekat Krueng Panjo yang jaraknya sekitar 3 km sebelum masuk stasiun kereta api Matang Geulumpang Dua, dibongkar agar kereta api tidak dapat lewat. Demikian juga keesokan harinya, jika kerteta api telah melewati daerah sasaran, pasukan API/TKR harus segera membongkar rel kereta api di bagian belakang sehingga kereta api tidak dapat mundur dan kereta api terkurung di tengah.
Di Bireuen, sebuah Komando Operasi segera dibentuk dengan Komandan Operasi Kapten Teuku Hamzah. Dilengkapi dengan empat kompi pasukan API/TKR; Kompi 1 dipimpin Letnan Agus Husin, Kompi II dipimpin oleh Letnan T. A. Hamdani, Kompi III dipimpin oleh Letnan Nyak Do, dan Kompi IV dipimpin oleh Letnan Yusuf Ahmad.
Pasukan Rakyat yang dipersiapkan di antaranya:
1. Barisan Rakyat Kampung Juli dipimpin Keucik Ibrahim,
2. Barisan Rakyat Gelanggaag Labu dipimpin oleh Utoh Husin/AR Mahmudi,
3. Barisan Rakyat Samalanga dipimpin oleh Teungku Sjahbuddin,
4. Barisan Rakyat Jeunib dipimpin oleh M. Ali,
5. Barisan Rakyat Geurugok dipimpin oleh Teuku Zamzam,
6. Barisan Rakyat Peusangan dipimpin oleh Saleh Alamsyah,
7. Barisan Rakyat Krueng Panjo dipimpina oleh Teungku Abdurahman,
8. Barisan Rakyat Bireuen dipimpin oleh Na'am Rasmadin, H. Affan, dan H. Marzuki Abu Bakar,
9. Barisan Rakyat Lhok Seumawe dipimpin oleh T. A. Bakar,
10. Barisau TPI (Tentara Pelajar Islam) Batalyon III Aceh Utara dipimpin oleh Nur Nekmat, M. Sabi, dan Hasry, dan
11. Barisan Rakyat Takengon dipimpin oleh Teungku Muhammad Saleh Adry dan Letnan Dua Ibnu Hajar.
Sehari sebelum pertempuran semua pemimpin pasukan API/TKR dan Laskar Pejuang, seperti Divisi Tgk. Chik Di Tiro (Mujahaidin), Divisi Rencong, Divisi Tgk. Chik Paya Bakong, Batalyon Berani Mati, Komando Resimen Tentara Pelajar Islam, dan Pasukan Barisan Pemuda Bersenjata dikumpulkan di Wakil Markas Daerah III API/TKR Bireuen dipimpin oleh Kapten Teuku Hamzah.
Diinstruksikan bahwa setiap pasukan besoknya pukul 10.00 pagi sudah berada di pos lengkap dengan senjata. Setiap pasukan bertanggung jawab atas tugas-tugas yang telah diinstruksikan. Kontak dengan Lhok Seumawe terus dilakukan untuk memantau apakah kereta api yang membawa pasukan Jepang sudah mulai berangkat. Pukul 12.30 siang, 24 November 1945, kereta api yang membawa satu batalyon tentara Jepang meluncur menuju Bireuen. Masinisnya orang Indonesia segera melompat meninggalkan kereta api setelah melihat kereta api yang ditumpanginya menjadi sasaran tembak pejuang Aceh di Kampung Pante Gajah. Serdadu Jepang segera melepaskan tembakan ke arah masinis yang berusaha kabur itu, tetapi tidak mengenai sasaran karena setiba di tanah, masinis segera berlindung di dalam parit.
Masinis digantikan oleh seorang Jepang yang berusaha menghentikan kereta api tetapi rel di belakang kereta api itu sudah dibongkar sehingga kereta api tidak dapat maju dan mundur. Sejalan dengan pembongkaran rel di belakang kereta api itu muncul pula tembakan-tembakan ke arah kereta api dari segala arah. Serdadu Jepang berlarian dan mencari perlindungan di pematang-pematang sawah. Dua kompi API dari Kutaraja yang dipimpin oleh T. Humid Azwar tiba di tempat kejadian dan langsung megambil alih kendali. Sebelumnya penyerangan dipimpin oleh T. Hamzah Samalanga.
Bersamaan dengan kedatangan Kepala Staf API, T. Hamid Azwar, dibawa serta Muramoto dari Sigli, ia diperlukan untuk menjadi juru bahasa merangkap penghubung alias juru damai. Setelah mendapat hubungan dengan komandan Jepang (Ibihara-tai), maka diadakan perundingan untuk membicarakan tuntutan rakyat. Jepang diminta agar menyerahkan senjata, sebagai imbalannya keselamatan mereka dijamin. Ibihara-tai sendiri sebenaraya sudah menyetujui tuntutan tersebut, tetapi beberapa orang komandan bawahannya menentang, sehingga menimbulkan percekcokan di antara mereka.
Keesokan harinya, 26 November 1945, Jepang mengibarkan bendera putih, pertanda menyerah. Pada peristiwa tersebut banyak jatuh korban di kedua belah pihak. Komandan pasukan Jepang melakukan harakiri dengan pedang samurai. Sebanyak 320 pucuk senjata diserahkan kepada API beserta dengan perlengkapan-perlengkapan lain. Pertempuran di Krueng Panjo dinilai sebagai pertempuran bersejarah, karena telah membangkitkan kepercayaan diri yang besar di kalangan pejuang Aceh karena mampu memaksa tentara Jepang mengangkat bendera putih sebagai tanda menyerah.
Tentara Jepang kemudian menyerbu ke wilayah Aceh Timur, pihak TKR mendatangkan pasukan tambahan dari Kutaraja, Bireuen, Takengon, Lhok Seumawe, dan Lhok Sukon, sedangkan pasukan TKR dan laskar rakyat yang berada di bagian timur, seperti dari Idi dipusatkan di sekitar kota Langsa. Tujuan utama Jepang adalah menguasai kembali Kuala Simpang dan Langsa. Terjadilah pertempuran besar-besaran di sekitar kedua tempat tersebut, seperti Kampung Durian dan Kampung Tupak pada 24 Desember 1945, Kampung Upak dan Bukit Meutuah pada 25 Desember 1945. Setelah pertempuran berlangsung sekitar satu bulan, maka pada 20 Januari 1946, TKR bersama dengan laskar rakyat berhasil mendesak tentara Jepang kembali ke Medan. Dengan demikian, daerah Aceh berhasil dibersihkan dari tentara Jepang dan kekalahannya itu merupakan pukulan berat tidak saja bagi Jepang tetapi juga bagi Sekutu.

0 komentar:

Post a Comment

 
TOP