Loading...
Sunday, 29 December 2013

FIR'AUN YANG DITENGGELAMKAN




(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami Tenggelamkan Fir'aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim.( QS Al Anfal 54).
Peradaban Mesir kuno berada dalam waktu yang sama dengan negara kota yang berada di Mesopotamia, dikenal sebagai satu diantara peradaban tertua di dunia dan dikenal dengan pengorganisasian negara dan paling maju dalam tatanan sosial dijamannya. Fakta bahwa mereka telah menemukan tulisan/huruf pada milinium 3 SM dan menggunakannnya, bahwa mereka juga memanfaatkan sungai Nil dan mereka terselamatkan dari berbagai bahaya luar dalam kaitannya dengan setting alamiah negara tersebut, nyata-nyata telah memberikan sumbangan yang besar terhadap bangsa Mesir dalam peningkatan peradaban mereka.
Namun, masyarakat yang "beradab" ini, pada masa berlakunya "pemerintahan Fir'aun (Pharaoh)" menggunakan system kafir yang disebutkan secara jelas dalam Aal qur'an dalam bahasa yang amat jelas dan lugas. Mereka bersifat congkak, angkuh dengan kebanggaan diri, mengesampingkan dan mengutuk. Dan akhirnya baik peradaban mereka yang maju, tatanan sosial politik bahkan dengan tentara yang kuat sekalipun tidak bisa menyelamatkan ketika mereka dihancurkan.
Wewenang Sang Fir'aun (Pharaoh)
Peradaban bangsa Mesir sangat mendasarkan pada kesuburan sungai Nil. Bangsa Mesir telah menetap di lembah Nil dikarenakan melimpahnya air di sungai ini dan karena mereka bisa mengolah tanah dengan persediaan air yang telah diberikan oleh sungai yang tidak tergantung kepada musim hujan. Ahli sejarah Ernest H Gombrich mengaakan dalam tulisannya bahwa Afrika sangatlah panas dan terkadang tidak pernah sama sekali turun hujan selama berbulan-bulan. Inilah sebabnya mengapa banyak daerah di benua yang besar ini sangat luar biasa keringnya. Bagian-bagian dari benua ini tertutup oleh lautan pasir yang sangat luas. Di kedua sisi sungai Nil juga tertutup oleh pasir dan di Mesir sendiripun jarang terjadi hujan. Namun di negeri ini hujan tidaklah terlalu dibutuhkan karena sungai Nil yang mengalir melintas ditengah-tengah seluruh negara .1
Jadi siapapun yang nenguasai sungai Nil yang sangtlah penting tersebut maka dialah yang bisa menguasai asset terbesar perdagangan dan pertanian Mesir. Pharaoh bisa melangengkan dominasinya atas Mesir dengan jalan ini.
Bentuk sungai Nil yang sempit dan memanjang di Lembah Nil tidak memungkinkan unit-tunit kependudukan yang berada disekitar sungai untuk terlalu mengembangkan wilayahnya. Itulah sebabnya bangsa Mesir lebih memilih untuk membentuk sebuah peradaban yang terdiri dari kota-kota kecil dan perkampungan daripada kota-kota besar. Faktor inilah yang memperkuat dominasi Pharaoh atas masyarakatnya.
Raja Menes dikenal sebagai pharaoh Mesir pertama yang menyatukan seluruh Mesir kuno untuk pertama kalinya dalam sejarah dalam sebuah negara persatuan kurang lebih 3000 SM. Kenyaaan bahwa istilah "Pharaoh " asal usulnya merujuk pada istana dimana raja Mesir berada, namun pada saat itu menjadi gelar dari raja-raja Mesir. Inilah sebabnya mengapa raja yang memerintah Mesir kuno mulai disebut " Pharaoh".
Sebagai pemilik, pengatur dan penguasa dari seluruh negara dan wilayah-wilayahnya, maka Pharaoh diterima sebagai pengejawantahan dari dewa yang terbesar dalam kepercayaan Mesir kuno yang Politheistik dan menyimpang. Administrasi dari wilayah Mesir, pembagian mereka, pendapatan mereka, singkatnya, seluruh pertanian, jasa dan produksi dalam batas-batas wilayah negara dikelola dalam kekuasan Pharaoh.
Absolutisme dalam masa kepemimpinannya telah melengkapi penguasaannya terhadap negara dengan kekuasaan yang dapat melakukan semua hal sesuai dengan keinginannnya. Tepat pada dinasti pertama kekuasaannya Menes yang menjadi raja Mesir yang berhasil menyatukan Hulu dan Hilir Mesir, Sungai Nil diserahkan kepada publik dengan menggunakan saluan-saluran air. Disamping itu seluruh produksi berada dibawah penguasaan dan seluruh produksi barang dan jasa diberikan untuk kepentingan sang raja. Rajalah yang mendistribusikan dan membagi barang dan jasa dalam proporsi yang diinginkan oleh rakyat. Hal ini tidaklah sulit bagi raja yang telah memiliki suatu kekuasaan di daeah tersebut untuk menempatkan rakyat dalam kepatuhan Raja Mesir atau yang nantinya bernama Pharaoh dan dia mengaku dirinya sebagai Makhluk suci yang memegang kekuasan yang besar dan mencakupi semua kebutuhan rakyatnya dan ia mengubah dirinya menjadi tuhan. Para Pharaoh benar-benar percaya bahwa diri mereka adalah tuhan.
Kata-kata Pharaoh (Fir'aun) disebutkan dalam al Qur'an yang digunakan dalam percakapannya dengan Musa, hal ini membuktikan bahwa mereka percaya atas ketuhanan Pharaoh. Ia mencoba mengancam Musa dengan mengatakan ;" Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan". ( QS Asy-Syu'ara 29), dan berkata Fir-aun kepada orang-orang di sekelilingnya ;" Hai Pembesar kaumku, aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku". (QS Al Qashas 38).
Ia mengatakan ini semua karena menganggap dirinya adalah tuhan.
Kepercayaan relijius bangsa Mesir
kebanyakan berdasarkan kepada
pengabdian terhadap tuhan-tuhan
mereka. ”Perantara” antara tuhan-
tuhan ini dengan manusia adalah para
pendeta yang merupakan bagian dari
para pemuka masyarakat.

Karena berurusan dengan ilmu magis
dan sihir, para pendeta menjadi kelas
penting yang digunakan oleh para
fir’aun untuk menjaga kepatuhan
rakyatnya.
Kepercayaan Agama
Menurut Herodotus seorang ahli sejarah, Mesir kuno adalah umat yang paling beriman di dunia. Namun agama mereka bukanlah agama yang sejati, namun merupakan sebuah bentuk politheisme yang sesat. Dan mereka tidak bisa meningalkan agama sesat mereka karena mereka orang-orang yang sangat kolot (konservatif).

Bangsa Mesir kuno sangatlah dipengaruhi oleh lingkungan alam dimana mereka hidup. Keadaan alam Mesir menjaga negara tersebut terhadap serangan dari luar secara sempurna. Mesir dikelilingi oleh gurun pasir, pegunungan dan lautan disemua sisi. Serangan mungkin dilakukan terhadap negara tersebut hanya dengan kemungkinan dua jalan, namun mereka dapat dengan mudah mempertahankan diri. Bangsa Mesir menjadi terisolasi dari dunia luar berkat faktor-faktor alam ini. Namun dengan sifat fanatik yang berlebihan sehingga bangsa Mesir memperoeh cara berpikir yang membelenggu mereka terhdap perkembangan dan hal-hal yang baru dan mereka sangatlah kolot terhadap agama mereka. Agama nenek moyang mereka yang disebutkan berkali-kali dalam Al Qur'an menjadi nilai yang paling penting bagi mereka.

Inilah sebabnya Fir'aun dan lingkungan dekatnya mengingkari Musa dan Harun ketika mengumumkan Agama Sejati dengan mengatakan ;
Mereka berkata; "Apakah kamu datang kepada kami untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek moyang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempunyai kekuasaan di muka bumi?, kami tidak akan mempercayai kamu berdua".(QS. Yunus: 78)
Agama/kepecayaan dari bangsa Mesir kuno dibagi ke dalam cabang-cabang, yang paling utama menjadi agama resmi negara adalah kepercayaan terhadap orang-orang dan adanya kehidupan setelah kematian.
Menurut agama resmi negara, Fir'aun (Pharaoh) adalah mahkluk suci, dia adalah pengejawantahan dari tuhan-tuhan mereka di muka bumi dan tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan dan melindungi mereka di dunia.
Kepercayaan yang berkembang luas dikalangan masyarakat sangatlah rumit dan unsur-unsur yang berbenturan dengan kepercayaan resmi negara ditekan oleh pemerintahan Fir'aun. Pada dasarnya mereka percaya kepada banyak tuhan dan tuhan ini biasanya digambarkan memiliki kepala binatang dengan tubuh manusia.

Kehidupan setelah mati merupakan bagian terpenting dalam kepercayaan bangsa Mesir. Mereka percaya bahwa roh akan terus hidup setelah jasad mati. Sesuai dengan hal ini roh-roh dari orang mati dibawa oleh malaikat-malaikat tersebut kepada tuhan sebagai hakim dan 4 saksi hakim lainnya, sebuah skala derajat tersusun dipertengahan dan jantung dari ruh/jiwa ditimbang dalam skala ini. Bagi mereka yang mati dengan timbangan kebaikan lebih banyak hidup dalam keadaan penuh dengan keindahan dan hidup dalam kebahagiaan, bagi mereka yang timbangannya lebih berat dengan kejahaan dikirim ke satu tempat dimana mereka mendapatkan siksaan yang berat. Disana mereka disiksa dalam keabadian oleh sebuah makhluk aneh yang disebut dengan "Pemakan Kematian".

Kepercayaan bangsa Mesir terhadap kehidupan di hari kemudian jelas-jelas menunjuukan paralelisme (kesamaan padangan) dengan kepercayaan monotheistik dan agama sejati (yang benar). Dan perintah-perintah suci telah mencapai peradaban Mesir kuno, namun agama ini kemudian diselewengkan dari monotheisme berubah menjadi Pholytheisme. Seperti telah diketahui bahwa para pemberi peringatan menyerukan orang-orang untuk meng-Esakan Allah dan memerintahkan mereka untuk menjadi hamba-Nya, diutus di Mesir dari masa ke masa sebagaimana mererka diutus untuk seluruh penduduk dunia pada satu waktu atau waktu yang lain. Salah satunya adalah Nabi Yusuf yang kehidupannya secara terperinci diceritakan dalam Al Qur'an. Sejarah Nabi Yusuf adalah sangat penting karena terdapat kehadiran anak-anak Israel di Mesir dan bagaimana mereka menatap disana.
Sebaliknya dalam sejarah terdapat keterangan yang menyatakan bahwa banyak orang Mesir yang menyerukan orang-orang terhadap kepercayaan -kepercayaan Monotheistik bahkan sebelum nabi Musa sekalipun, salah satu dari mereka adalah Pharaoh(Fir'aun) yang paling penting dalam sejarah Mesir, dia adalah Amenhotep IV.
Fir'aun Amenhotep IV Yang Monotheistik
Fir'aun-fir'aun Mesir pada umumnya bersifat brutal, menindas, suka berperang dan orang-orang yang bengis. Secara umum menereka mengadopsi agama politheisme Mesir dan mendewa-dewakan diri mereka sendiri melalui agama ini.
Namun terdapat seorang Fir'aun dalam sejarah Mesir yang sangat-sangat berbeda dengan yang lainnya. Fir'aun ini mempertahankan kepercayan terhadap sang pencipta Yang Tunggal dan karenanya ia mendapakan perlawanan yang sangat kuat dari para pendeta Amon, yang mereka itu mendapatkan keuntungan dari agama politheisme dan dengan beberapa prajurit yang membantu mereka, sehingga akhirnya Fir'aun itu terbunuh. Fir'aun ini adalah Amenhotep IV yang mulai berkuasa di abad XIV SM.
Ketika Fir'aun Amenhotep IV dinobatkan sebagai raja pada 1375 SM, ia menjumpai kekolotan (konservatisme) dan tradisionalisme yang telah berlangsung selama berabad-abad, sehingga susunan masyarakat dalam hubungannya dengan istana kerajaan terus berlanjut tanpa adanya perubahan. Masyarakat menutup pintu rapat-rapat terhadap peristiwa dari luar dan kemajuan agama. Konservatisme yang sangat keras ini juga dikatakan oleh para pengembara Yunani kuno sebagai diakibatkan oleh kondisi geografis alam Mesir seperti disebutkan diatas.
Sesuai dengan ketentuan Fir'aun, agama resmi menuntut kepercayaan yang tidak terbatas dalam segala hal yang lama dan tradisional. Namun Amenhotep IV tidak menyetujui agama resmi tersebut. Ahli sejarah Ernst Gombrich menulis :
Amenhotep IV melakukan banyak perubahan terhadap banyak kebiasaan yang disucikan oleh tradisi tua dan tidak ingin untuk melakukan penyembahan terhadap tuhan yang berbentuk dalam berbagai simbol yang aneh dari kaumnya. Baginya hanya satu Tuhan yang perkasa yaitu Aton, yang disembahnya dan yang diejawantahkannya dalam bentuk matahari Ia menyebut dirinya setelah tuhannya, sebagai Akhenaton, dan ia memindahkan istananya menjauh dari jangkauan para pendeta dari tuhan-tuhan yang lain ke suatu tempat yang sekarang disebut dengan El-Amarna .2
Setelah kematian ayahnya, Amenhotep IV muda mendapatkan tekanan yang hebat. Tekanan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia membangun sebuah agama yang berdasarkan paham monotheisme dengan mengubah agama tradisional politheisme Mesir dan memcoba untuk melakukan perubahan-perubabahan yang radikal dalam berbagai bidang. Namun para pemimpin Thebes tidak memperbolehkannya untuk menyampaikan pesan dari agama ini. Amenhotep IV dan orang-orangnya kemudian berpindah dari kota Thebes dan bermukim di Tell-El-Amarna. Disini mereka membangun sebuah kota baru yang modern yang dinamakan "Akh-et-aton". Amenhotep IV mengubah namanya yang berarti "kesenangan/kesayangan dari sang Amon" menjadi Akh-en-aton yang berarti "Tunduk kepada sang Aton". Amon adalah nama yang diberikan untuk patung (totem) yang terbesar dalam kepercayaan politheisme bangsa Mesir. Menururt Amenhotep IV, Aton adalah "pencipta dari surga dan dunia", penyamaan nama sebutannya untuk Allah.
Merasa terganggu dengan perkembangan ini, maka para pendeta Amon ingin merenggut kekuatan Akhenaton dengan menciptakan krisis ekonomu di negaranya. Akhenaton akhirnya terbunuh dengan cara diracun oleh para komplotan yang ingnin menghancurkannya. Para Fir'aun berikutnya merasa khawatir dan merekapun tenggelam dalam pelukan pengaruh para pendea tersebut.
Setelah Akhenaton, muncullah Fir'aun yang berkuasa dengan kekuatan militer. Hal ini sekali lagi mengakibatkan tradisi lama politheisme menjadi berkembang luas dan adanya usaha untuk kembali ke masa lalu. Beberapa abad kemudian, Ramses II yang berkuasa paling lama dalam sejarah Mesir diangkat menjadi raja. Menurut banyak ahli sejarah, Ramses II adalah Fir'aun yang menyiksa Bani Israel dan berperang terhadap Nabi Musa . 3

CATATAN
1. Ernst H. Gombrich, Gençler için Kisa Bir Dünya Tarihi, (Translated into Turkish by Ahmet Mumcu from the German original script, Eine Kurze Weltgeschichte Für Junge Leser, Dumont Buchverlag, Köln, 1985), Istanbul: Inkilap Publishing House, 1997, hlm. 25
2. Ernst H. Gombrich, The Story of Art, London MCML, The Phaidon Press Ltd., hlm. 42
3. Eli Barnavi, Historical Atlas of The Jewish People, London: Hutchinson, 1992, hlm. 4; "Egypt", Encyclopedia Judaica, Vol. 6, hlm. 481 and "The Exodus and Wanderings in Sinai", Vol. 8, hlm. 575; Le Monde de la Bible, No:83, July-August 1983, hlm. 50; Le Monde de la Bible, No:102, January-February 1997, hlm. 29-32; Edward F. Wente, The Oriental Institute News and Notes, No:144, Winter 1995; Jacques Legrand, Chronicle of The World, Paris: Longman Chronicle, SA International Publishing, 1989, hlm. 68; David Ben Gurion, A Historical Atlas Of the Jewish People, New York: Windfall Book, 1974, hlm. 32

0 komentar:

Post a Comment

 
TOP